buah hatiku...masa depanku...inspirasiku...dan kebanggaanku...

buah hatiku...masa depanku...inspirasiku...dan kebanggaanku...
my three of angel's

A Whole New World - Park Hyo Shin and Ann

Perempuan Gorontalo dalam Konsep Pluralisme (Keberagaman)



Posisi Perempuan Dalam Adat Gorontalo
Penguatan identitas Adat Gorontalo yang cenderung tidak berpihak pada perempuan hingga saat ini masih merupakan sebuah pola diskriminatif terhadap potensi dan kesempatan kaum perempuan gorontalo dalam pengembangan karir khususnya pada bidang Politik.
Peran perempuan dalam sector publik ini selalu dikaitkan dengan adat. Apabila dirunut dari semboyan gorontalo “adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah” , ada ketidaksamaan persepsi yang perlu ditelaah dengan cermat. Agama memang melarang perempuan untuk menjadi imam dalam sholat. Kerendahan jenis kelamin perempuan pun dalam agama sangat jelas dibedakan dengan pembacaan Adzan untuk bayi laki-laki dan Iqamah untuk anak perempuan. Boleh jadi ini yang menjadi acuan penetapan adat gorontalo yang mengharuskan posisi perempuan senantiasa berada dibarisan belakang.
Namun dalam sejarah, kepemimpinan di abad 14 hingga 17 tercatat sejumlah raja-raja perempuan yang memimpin beberapa wilayah gorontalo, seperti raja suwawa yang pada waktu itu berada di bawah kepemimpinan Raja Rawe. Ironis memang, namun konsep adat yang bagaimanakah yang masih melarang seorang perempuan gorontalo untuk menjadi pemimpin?
Penguatan Identitas Perempuan Gorontalo
Dalam Situasi Pluralisme
Secara umum, masyarakat Gorontalo terdiri dari beragam etnis, dengan dominasi etnis gorontalo/Hulondalo. Dari data sensus penduduk tahun 2000 bisa dilihat perbandingannya sebagai berikut :
Hulondalo
750.541 jiwa - 90,43%
Jawa
20.427 jiwa - 2,46%
Sangir
5.999 jiwa - 0,72%
Minahasa
4.489 jiwa - 0,54%
Bajo
3.172 jiwa - 0,38 %
Gebe/Gebi
2.903 jiwa - 0,35%
Bugis
2.442 jiwa - 0,29%
Lain-lain
34.594 jiwa - 4,26%
(suryadinata 2001:29)
Data terakhir yang diambil pada tahun 2006, jumlah penduduk propinsi Gorontalo sebanyak 941.444 jiwa, terdiri dari 475.254 (50,59%) perempuan dan 466.199 (48,64%) laki-laki. Digarisbawahi, dengan jumlah populasi terbanyak, perempuan gorontalo seharusnya sudah memiliki modal yang kuat dalam memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Tanpa melihat kuantitas jumlah dalam kependudukan, sudah saatnya perempuan gorontalo memperlihatkan geliat kedudukannya dengan menunjukkan potensi yang bisa membuka tembok keterbatasan yang dibangun untuk membatasi potensi dan ruang geraknya.
Sejak era otonomi daerah yang ditandai dengan berpisahnya Gorontalo dengan Propinsi Sulawesi utara, secara umum adalah awal dari penguatan identitas gorontalo tanpa pengaruh dan otoritas Sulawesi utara.
Pada saat inilah identitas keislaman gorontalo kembali dijadikan symbol penguatan jati diri dan acuan dalam kebijakan-kebijakan public.
Beberapa perda berbasis keislaman yang dikeluarkan antara lain perda anti maksiat, perda baca tulis Al-Quran dan perda bahasa gorontalo dalam materi kurikulum sekolah.
Meskipun tidak mengubah posisi perempuan dalam adat gorontalo, namun beberapa kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis, telah mengikat mereka dalam aturan-aturan tersebut. Misalnya, dibeberapa instansi pemerintah, perempuan diwajibkan mengenakan jilbab setiap apel/upacara-upacara. Beberapa sekolah-sekolah umum pun mewajibkan siswa perempuan untuk mengenakan rok panjang dan jilbab.
Dalam kondisi ini, penguatan identitas sangat menguntungkan perempuan gorontalo. Penetapan Prioritas putra daerah dalam setiap kesempatan atau kompetisi yang diikuti oleh masyarakat umum, seperti penerimaan CPNS, pemilihan Caleg yang akan duduk di Legislatif. Dengan kata lain, dalam konteks pluralisme kesukuan, posisi perempuan gorontalo asli masih lebih tinggi dan masih menjadi prioritas.
Secara umum, hubungan antar semua golongan baik suku dan agama yang ada di gorontalo cukup harmonis. Kondisi ini juga diamini oleh sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat dari semua etnis dan agama. Semua elemen masyarakat pun menunjukkan hal demikian baik dalam aktifitas ekonomi dan perdagangan, yang terlihat cukup kondisif. Masyarakat gorontalo sebagai penduduk asli memberikan ruang yang lebar kepada para pendatang yang ingin mengadu nasib dengan berbagai jenis mata pencaharian.
Namun situasi yang terlihat harmonis ini, bukan tidak mungkin terdapat sedikit gejolak dimasing-masing golongan. Terbukti dengan terjadinya aksi penyerangan took “mercy” milik etnis tionghoa oleh penduduk asli dan penduduk muslim pada tahun 1991. Pemicunya tidak lain karena toko tersebut menggunakan kertas yang bertuliskan ayat Al-Quran sebagai pembungkus foto, yang membuat warga muslim berang. Meskipun konflik tersebut dapat diatasi, namun beberapa data terakhir menyebutkan bahwa telah terjadi beberapa isu aksi kristenisasi di beberapa lokasi pinggiran gorontalo.
Di mana Posisi Perempuan Gorontalo?
Dengan kejadian-kejadian ini menunjukkan efek gunung es, dibalik permukaan yang terlihat sangat kokoh itu terdapat lautan yang sangat dalam. Kondisi ini pun diperkuat dengan adanya penerapan kartu penilaian masyarakat sipil yang dilakukan dibeberapa wilayah gorontalo, dimana hasilnya bahwa di beberapa wilayah yang komposisi penduduknya heterogen maupun homogen, terdapat potensi konflik laten yang apabila tidak ditindaklajuti akan menjadi konflik yang lebih terbuka.
Dari tindak lanjut dan evaluasi penerapan kartu penilaian masyarakat sipil untuk mendeteksi potensi konflik berdasarkan kesukuan dan agama tentunya akan mempengaruhi pada kebijakan public yang pada akhirnya akan berdampak pada hak asasi manusia dan hak perempuan.
Dalam penerapan yang dilakukan di kelurahan tenda dengan komposisi penduduk yang heterogen dan di kelurahan limba B dengan komposisi penduduk lebih homogeny, terdapat satu kelompok diskusi yang dijadikan sampel yang terdiri dari kaum perempuan dengan latar belakang profesi, pendidikan, agama dan suku yang berbeda. Dari hasil wawancara itu diperoleh kesimpulan bahwa ternyata kaum perempuan memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam penguatan identitas kesukuan dalam wilayah mereka. Salah satu contoh kasus adalah, mereka sangat menentang anak-anak mereka menjalin pergaulan yang mengarah pada hubungan yang lebih jauh/berpacaran dengan anak-anak dari suku dan agama lain.
Apalagi sampai pada tingkatan yang lebih jauh lagi yaitu perkawinan. Perempuan dalam hal ini kaum ibu lebih memilih penduduk asli atau orang gorontalo asli sebagai suami/istri dari anak-anak mereka.
Alasannya, selain ditentang oleh agama, anak yang telah menikah dengan suku atau agama lain secara otomatis identitas keasliannya akan hilang. Bahkan lebih ekstrim lagi adalah dihapus dari daftar warisan dan di “buang” dari keluarganya.
Posisi perempuan dalam lingkungan pun memiliki pengaruh terjadinya Jarak social antara penduduk asli dengan para pendatang. Hal ini terkait dengan tingkat kecurigaan yang tinggi pada kehadiran pihak/orang luar yang masuk ke wilayah mereka, meskipun masih pada taraf kekhawatiran diantara kelompok-kelompok kecil, seperti kelompok arisan. Pada kasus lain, para perempuan ini pun sangat menentang pembangunan gereja di wilayah tempat tinggal mereka, dengan alasan khawatir akan mempengaruhi kehidupan beragama dan ketenangan mereka dalam menjalankan sholat.
Posisi perempuan sebagai kaum feminis yang identik dengan kebiasaan bergunjing atau “karlota” sangat berpotensi dalam pembentukan stereotype diwilayah mereka. Kehadiran pihak lain diluar komunitas mereka selalu identik dengan hal-hal yang mengarah ke tindakan criminal. Informasi-informasi tercepat pun selalu bersumber dari para perempuan dengan kelompoknya masing-masing.
Solusi : Bagaimanapun dan dimanapun kita, kaum perempuan berada, hidup dan bersosialisasi, seharusnya tetap menjadikan dirinya sebagaimana adanya lingkungan menuntutnya untuk berperan. Jadilah istri yang setia untuk suami, jadilah ibu yang bijak bagi anak-anak, jadilah sahabat yang ikhlas, jadilah guru yang bisa dijadikan teladan, jadilah pemimpin yang bijaksana, jadilah pengusaha yang inovatif, jadilah pedagang yang jujur, dan jadilah semua apa yang kita impikan, selagi kesempatan itu ada, waktu masih tersisa, dan kepercayaan masih diberikan. Jadilah diri kita apa adanya dengan semua identitas yang kita miliki, karena siapapun kita dan apaun kita, penilaian yang paling objektif adalah penilaian atas kebaikan yang kita kerjakan.
Terima kasih – semoga bermanfaat

POTRET PENDIDIKAN (yang masih buram)



Dunia pendidikan di Indonesia beberapa  tahun terakhir belum menampakkan kemajuan yang berarti. Ada begitu banyak informasi yang kita baca maupun lihat di berbagai media massa tentang prestasi-prestasi luar biasa dari anak bangsa dalam berbagai ajang pendidikan nasional dan internasional ternyata belum mampu mengimbangi jumlah anak usia sekolah yang belum juga bisa duduk di bangku sekolah. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, jumlah siswa lulusan UAN yang terus menurun. Fasilitas pendukung yang belum mampu menopang kurikulum sekolah yang diberikan, biaya belajar yang seharusnya “gratis” namun tetap saja belum terjangkau. Padahal anggaran pendidikan yang dialokasika oleh pemerintah setiap tahun untuk menutupi semua biaya pendidikan juga tidak pernah “cukup”. Yang sangat “tragis” adalah Anak-anak putus sekolah yang jumlahnya terus meningkat. Persoalan apa sebenarnya yang menggerogoti dunia pendidikan kita? Bukabkah solusi demi solusi telah diberikan dan laksanakan hingga melahirkan berbagai macam program-program untuk mendongkrak naiknya angka usia sekolah dan kualitas pendidikan.
Dukungan terhadap tenaga-tenaga pengajar telah diupayakan hingga melahirkan berbagai penghargaan . mulai dari kenaikan gaji guru, tunjangan guru untuk daerah pedalaman, sampai pada pemberian sertifikasi bagi guru. Semua diharapkan akan menjadikan profesi guru bukan lagi seperti yang digambarkan seperti “si umar bakri” yang berpenghasilan pas-pasan. Namun, semuanya belum juga bisa mencerahkan buramnya potret pendidikan bangsa kita hingga saat ini.
Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang kaya, kaya SDM dan SDA. Kekayaan inilah yang seharusnya menjadi modal untuk membebaskan bangsa kita dari kondisi “kritis” saat ini. Kolaborasi kedua kekayaan ini sudah lebih dari cukup untuk menjadikan bangsa kita tidak hanya sebagai bangsa yang berkembang sepanjang zaman. Kita memiliki manusia-manusia yang luar biasa yang bisa dijadikan aset dalam mengelola alam yang demikian luas dan berpotensi. Dan ironisnya, kita semua menyadari hal tersebut, namun kenyataannya kita tidak bisa berbuat banyak. Tenaga kita telah terkuras habis oleh persoalan-persoalan pelik yang hanya menghabiskan energi dan kecerdasan kita untuk memikirkan masa depan yang lebih baik. Kita terlalu terlalu terlena oleh sajian “pendidikan politik” yang seharunsya bukan menjadi beban masyarakat.
Jika bisa berandai-andai, saat ini masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling beruntung. Beruntungnya kita sebagai warga negara karena kita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang “super canggih” dalam menjalankan pemerintahan. Sistem kita sangat demokratis, yang menempatkan masyarakat diatas kepentingan siapapun. Kita memiliki perangkat legislatif yang kualified dalam parlemen. Mereka adalah orang-orang hebat yang terpilih untuk mewakili aspirasi sekian juta penduduk Indonesia. Perangkat hukum kita sangat tertata. Bahkan kita memiliki sekian ribu personil dengan sistem pengamanan yang luar biasa. Andai semua bisa menjalankan fungsi nya dengan “baik dan benar”, maka kitalah warga atau manusia yang paling beruntung bisa lahir di tanah Indonesia.
Tanpa bermaksud menghentikan hayalan kita, marilah kita melihat kenyataan yang ada disekitarnya. Ada berapa anak-anak usia sekolah yang belum dapat menikmati bangku sekolah dilingkungan anda? Ada berapa anak-anak putus sekolah karena tidak mampu lagi melanjutkan karena persoalan biaya disekiar anda? Ada berapa anak-anak cerdas yang memiliki prestasi luar biasa namun tidak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di sekitar anda?
Sebuah gambaran nyata, dalam 2 tahun terkahir saya telah 6 kali mengganti pengasuh anak. Dari 8 orang pengasuh anak yang pernah saya pekerjakan semuanya adalah remaja putus sekolah (rata-rata hinga SLTP). Usia mereka rata-rata 15-18 tahun. Mereka tidak melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai untuk masuk SLTA. Bahkan, yang mengasuh anak saya sekarang hanya sempat duduk di kelas 2 SLTP. Dia terpaksa berhenti karena orang tuanya bercerai, karena dia ikut bersama ibunya yang tidak memiliki pekerjaan tetap, akhirnya memutuskan berhenti sekolah. Yang menjadi beban pikiran saya, saat ini dia memiliki seorang adik yang duduk di bangku kelas 5 SD. Akankan nasibnya adiknya sama dengan kakaknya, atau bahkan lebih buruk lagi tidak bisa melanjutkan ke SLTP. Dan yakinlah, masih banyak anak-anak lain yang memiliki nasib sama seperti mereka, bahkan lebih buruk lagi. Dan mereka ada di sekitar kita.
Terlalu naif untuk hanya memikirkan peningkatan kualitas dan mutu pendidikan sementara yang terpenting adalah bagaimana untuk bisa menyekolahkan puluhan ribu anak-anak Indonesia lain. bukannya hal ini tidak penting, namun mutu pendidikan seperti apa yang dipikirkan ditengah-tengah kemelut ketidakmampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya? Tidakkah sebaiknya diupayakan untuk menyediakan sarana pendidikan yang “terjangkau” bagi mereka yang tidak mampu. Belum maksimalkah upaya pemerintah dalam megelola pendidikan untuk warganya? Ataukan memang kesadaran warganya lah tentang pentingnya pendidikan yang perlu ditingkatkan?